Antara Pulang Dan Pergi

Mohammad Inop
2 min readNov 28, 2021

--

Saat ini saya sedang duduk di ruang tunggu Bandara Hang Nadim, Batam. Suasananya cukup sepi. Sayup-sayup terdengar suara musik dari salah satu stan makanan.

Saya sedang transit tujuan Medan untuk urusan pekerjaan. Saya pun harus menunggu cukup lama karena jadwal penerbangan yang diubah oleh pihak maskapai. Jadi, saya coba saja untuk menulis di sini sekaligus membunuh waktu.

Dulu, semasa kuliah, saya seringkali bolak-balik antara Riau dan Jogja. Setiap semester setidaknya.

Lama-kelamaan, dalam satu perjalanan (entah itu perjalanan dari Riau ke Jogja, atau sebaliknya), saya menjadi sulit untuk membedakan: saya sedang pulang, atau pergi?

Pikiran semacam ini pun masih berlanjut setelah saya meninggalkan Jogja dan menetap di Tangerang. Beberapa kali sempat bolak-balik Tangerang-Riau. Yang ada di kepala saya pun masih sama: saya sedang pulang, atau pergi?

Maklum, saya sudah terbiasa jauh dari rumah (maksud saya rumah milik orang tua saya) sejak lulus SMA. Sudah lebih dari 10 tahun. Efeknya, saya menjadi tidak yakin: rumah yang saya tinggali semasa kecil dan remaja apakah masih rumah saya? Apakah masih rumah yang sama?

Dua hari belakangan ini, sebelum berangkat menuju Medan, saya jadi kepikiran, kenapa rasanya sangat berat meninggalkan rumah. Padahal untuk urusan pekerjaan yang memang sudah menjadi kewajiban saya. Rasanya berat sekali meninggalkan rumah, orang tua, dan kota kecil tempat saya dibesarkan.

Saya pun merenung. Mencoba mengingat-ingat setiap gambaran kejadian yang pernah saya alami. Saat tulisan ini dibuat. Sambil memandang ke arah landasan terbang Bandara Hang Nadim.

Saya menemukan jawabannya.

Pada akhirnya, saya pun mafhum. Apakah saya sedang pulang atau pergi? Yang manakah rumah saya yang sebenarnya? Jawabannya sederhana.

Jika saya meninggalkan suatu tempat dengan rasa berat hati, maka artinya saya sedang pergi. Jika saya menuju suatu tempat dengan rasa senang hati, maka artinya saya sedang pulang. Dan terakhir, rumah adalah tempat di mana saya merasa ada orang-orang yang menunggu saya untuk pulang. Merekalah yang menjadi alasan saya untuk segera pulang dan tidak berlama-lama pergi.

Tunggu saya pulang, ya.

“Kalau kangen, jangan bilang, pulang!”

— Fiersa Besari

--

--

Mohammad Inop

Manusia primitif yang seharusnya dilahirkan pada zaman Pithecanthropus Erectus. Memiliki nama lengkap Mohammad Nofrizan. Tapi biasanya dipanggil Inop.